BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Saat ini penyakit muskuloskeletal
telah menjadi masalah yang banyak dijumpai di pusat-pusat pelayanan kesehatan
di seluruh dunia. Bahkan WHO telah
menetapkan dekade ini (2000-2010) menjadi Dekade Tulang dan Persendian. Penyebab fraktur
terbanyak adalah karena kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan lalu lintas ini selain menyebabkan fraktur, menurut
WHO juga menyebabkan kematian 1,25 juta orang setiap tahunnya, dimana sebagian
besar korbannya adalah remaja atau dewasa muda.
Fraktur
adalah salah satu gangguan musculoskeletal yang umum yang disebabkan oleh
trauma. Dengan semakin pesatnya kemajuan lalu lintas di Indonesia maka
mayoritas fraktur adalah akibat kecelakaan lalu-lintas. Kecelakaan lalu-lintas
dengan kecepatan tinggi sering menyebabkan trauma. dan kita harus waspada
terhadap kemungkinan polytrauma yang dapat mengakibatkan trauma organ-organ
lain. Trauma-trauma lain adalah jatuh dari ketinggian, kecelakaan kerja,
kecelakaan domestik, dan kecelakaan atau cidera olahraga.
Menurut
Smeltzer (2001) fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan
sesuai jenis dan luasnya. Prinsip
mengenai fraktur meliputi reduksi yaitu memperbaiki posisi fragmen yang terdiri
dari reduksi tertutup (tanpa operasi) dan reduksi terbuka (dengan operasi),
mempertahankan reduksi atau imobilisasi yaitu tindakan untuk mencegah
pergeseran dengan traksi terus nmenerus, pembebatan dengan gips, pemakaian
penahan fungsional, fiksasi internal dan fiksasi eksternal, memulihkan fungsi yang
tujuannya adalah mengurang oedem, mempertahankan gerakan sendi, memulihkan
kekuatan otot dan memandu pasien kembali ke aktifitas normal. (Apley &
Solamon 1995)
1.2 Tujuan Penulisan
a. Tujuan Umum
Untuk
meningkatkan pengetahuan dan kemampuan mahasiswa dalam mempelajari
fraktur dan dapat diterapkan dalam kehidupan sesuai teori yang ada.
b. Tujuan Khusus
1.
Diharapkan
mahasiswa dapat mengetahui pengertian dari fraktur secara umum
2.
Diharapkan
mahasiswa dapat mengetahui klasifikasi fraktur
3.
Diharapkan
mahasiswa dapat mengetahui etiologi atau penyebab terjadinya fraktur
4.
Diharapkan
mahasiswa dapat mengerti tentang manifestasi fraktur
5.
Diharapkan
mahasiswa dapat mengetahui komplikasi dari fraktur
6.
Diharapkan
mahasiswa dapat mengetahui penatalaksanaan dari faktur.
7.
Agar dapat
mamberikan askep pada fraktur tibia fibula cruris mulai dari pengkajian sampai
evaluasi dengan baik dan benar
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi.
Fraktur adalah
terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya disertai dengan luka
sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, rupture tendon, kerusakan pembuluh
darah, dan luka organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya,
terjadinya jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang besar dari
yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer, 2001).
Cruris berasal dari
bahasa latin crus atau cruca yang berarti tungkai bawah yang
terdiri dari tulang tibia dan fibula (Ahmad Ramali).
Fraktur
cruris adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya, terjadi pada tulang tibia dan fibula. Fraktur terjadi jika tulang
dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya. (Brunner &
Suddart, 2000).
2.2 Klasifikasi Fraktur
1. Fraktur
berdasarkan derajat atau luas garis fraktur terbagi menjadi :
a.
Fraktur complete, dimana tulang patah terbagi
menjadi dua bagian (fragmen) atau lebih.
b.
Fraktur incomplete (parsial). Fraktur parsial terbagi
lagi menjadi :
a)
Fissure/Crack/Hairline, tulang
terputus seluruhnya tetapi masih di tempat, biasa terjadi di tulang pipih.
b)
Greenstick Fracture, biasa terjadi pada anak-anak dan
pada os. radius, ulna, clavikula dan costae.
c)
Buckle Fracture, fraktur dimana korteksnya melipat
ke dalam.
2. Berdasarkan
garis patah atau konfigurasi tulang:
a.
Transversal, garis patah tulang melintang sumbu tulang
(80-1000 dari sumbu tulang)
b.
Oblik, garis patah tulang melintang sumbu tulang
(<800 atau >1000 dari sumbu tulang)
c.
Longitudinal, garis patah mengikuti sumbu tulang
d.
Spiral, garis patah tulang berada di dua bidang atau
lebih
e.
Comminuted, terdapat dua atau lebih garis fraktur.
3. Berdasarkan
hubungan antar fragman fraktur :
a.
Undisplace, fragment tulang fraktur masih terdapat
pada tempat anatomisnya
b.
Displace, fragmen tulang fraktur tidak pada tempat
anatomisnya, terbagi atas :
1)
Shifted Sideways, menggeser ke samping tapi dekat
2)
Angulated, membentuk sudut tertentu
3)
Rotated, memutar
4)
Distracted, saling menjauh karena ada interposisi
5)
Overriding, garis fraktur tumpang tindih
6)
Impacted, satu fragmen masuk ke fragmen yang lain.
4. Secara umum
berdasarkan ada tidaknya hubungan antara tulang yang fraktur dengan dunia luar,
fraktur juga dapat dibagi menjadi 2, yaitu :
a.
Fraktur tertutup, apabila kulit diatas tulang yang
fraktur masih utuh
b.
Fraktur terbuka, apabila kulit diatasnya tertembus dan
terdapat luka yang menghubungkan tulang yang fraktur dengan dunia luar yang
memungkinkan kuman dari luar dapat masuk ke dalam luka sampai ke tulang
sehingga cenderung untuk mengalami kontaminasi dan infeksi. fraktur terbuka
dibagi menjadi tiga derajat, yaitu :
1)
Derajat I
a)
Luka kurang dari 1 cm
b)
Kerusakan jaringan lunak sedikit tidak ada tanda luka
remuk.
c)
Kraktur sederhana, tranversal, obliq atau kumulatif
ringan.
d)
Kontaminasi ringan.
2)
Derajat II
a)
Laserasi lebih dari 1 cm
b)
Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, avulse
c)
Fraktur
komuniti sedang.
3)
Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi
struktur kulit, otot dan neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi.
2.3 Etiologi
Penyebab fraktur diantaranya:
1. Trauma
Jika kekuatan
langsung mengenai tulang maka dapat terjadi patah pada tempat yang terkena, hal
ini juga mengakibatkan kerusakan pada jaringan lunak disekitarnya. jika
kekuatan tidak langsung mengenai tulang maka dapat terjadi fraktur pada tempat
yang jauh dari tempat yang terkena dan kerusakan jaringan lunak ditempat
fraktur mungkin tidak ada. Fraktur karena trauma dapat dibagi menjadi 2 yaitu:
a)
Trauma langsung. Benturan pada tulang mengakibatkan
ditempat tersebut.
b)
Trauma tidak langsung. Titik tumpu benturan dengan
terjadinya fraktur berjauhan.
2. Fraktur
Patologis
Adalah suatu
fraktur yang secara primer terjadi karena adanya proses pelemahan tulang akibat
suatu proses penyakit atau kanker yang bermetastase atau osteoporosis.
3. Fraktur akibat kecelakaan atau tekanan
Tulang juga
bisa mengalami otot-otot yang berada disekitar tulang tersebut tidak mampu
mengabsorpsi energi atau kekuatan yang menimpanya.
4. Spontan .
Terjadi tarikan otot yang sangat kuat seperti olah raga.
5. Fraktur
tibia dan fibula yang terjadi akibat pukulan langsung, jatuh dengan kaki dalam
posisi fleksi atau gerakan memuntir yang keras.
6. Fraktur
tibia dan fibula secara umum akibat dari pemutaran pergelangan kaki yang kuat
dan sering dikait dengan gangguan kesejajaran.
(Apley, G.A. 1995 : 840)
2.4 Manifestasi
Klinis
1. Deformitas
2. Daya tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang brrpindah dari
tempatnya perubahan keseimbangan dan contur terjadi seperti :
a.
Rotasi
pemendekan tulang
b.
Penekanan
tulang
3. Bengkak : edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah
dalam jaringan yang berdekatan dengan fraktur.
4. Echumosis dan perdarahan subculaneus
5. Spasme otot spasme involunters dekat fraktur.
6. Tendernes atau keempuka
7. Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari tempatnya
dan kerusakan struktur di daerah yang berdekatan.
8. Kehilangan sensasi (Mati rasa, munkin terjadi dari rusaknya saraf atau perdarahan).
9. Pergerakan abnormal
10. Syock hipovolemik dari hilangnya hasil darah.
11. Krepitasi
2.5 Patofisiologi
Ketika tulang patah, periosteum dan pembuluh darah di bagian korteks,
sumsum tulang dan jaringan lunak didekatnya (otot) cidera pembuluh darah ini
merupakan keadaan derajat yang memerlukan pembedahan segera sebab dapat
menimbulkan syok hipovolemik. Pendarahan yang terakumulasi menimbulkan
pembengkakan jaringan sekitar daerah cidera yang apabila di tekan atau di
gerakan dapat timbul rasa nyeri yang hebat yang mengakibatkn syok neurogenik.
(Mansjoer Arief, 2002)
Sedangkan kerusakan pada system persyarafan akan menimbulkan kehilangan
sensasi yang dapat berakibat paralysis yang menetap pada fraktur juga terjadi
keterbatasan gerak oleh karena fungsi pada daerah cidera. Sewaktu tulang patah
pendarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah, kedalam jaringan lemak
tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan.Reaksi
perdarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur.
Sel darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran
darah ke tempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa – sisa sel mati di
mulai. Di tempat patah terdapat fibrin hematoma fraktur dan berfungsi sebagai
jala-jala untuk membentukan sel-sel baru. Aktivitas osteoblast terangsang dan
terbentuk tulang baru umatur yg disebut callus.Bekuan fibrin direabsorbsi dan
sel-sel tuulang baru mengalmi remodelling untuk membentuk tulang sejati.
(Mansjoer Arief, 2002)
2.6 Pemeriksaan Penunjang
1. Foto Rontgen
a.
Untuk
mengetahui lokasi fraktur dan garis fraktur secara langsung
b.
Mengetahui
tempat atau tipe fraktur. Biasanya diambil sebelum dan sesudah serta selama
proses penyembuhan secara periodik.
c.
Artelogram bila ada kerusakan vaskuler
2. Hitung darah
lengkap HT mungkin terjadi (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna
pada sisi fraktur atau organ jauh pada organ multiple). Peningkatan jumlah SDP
adalah kompensasi normal setelah fraktur.
3. Profil
koagulasi perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah transfusi multiple atau
trauma hati.
4. Sebagai
penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan sinar
rontgen (x-ray). Hal yang harus dibaca pada x-ray:
a.
Bayangan jaringan lunak.
b.
Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi
periosteum atau biomekanik atau juga rotasi.
c.
Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
d.
Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
5. Selain foto
polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti:
a.
Tomografi : menggambarkan tidak satu struktur saja
tapi struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini
ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja
tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
b.
Myelografi : menggambarkan cabang-cabang saraf spinal
dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat
trauma.
c.
Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang
rusak karena ruda paksa.
d.
Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan
secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang
rusak.
6. Pemeriksaan
Laboratorium
a.
Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
b.
Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan
menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
c.
Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat
Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang
meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
7. Pemeriksaan
lain-lain
a.
Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test
sensitivitas: didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
b.
Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini
sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
c.
Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf
yang diakibatkan fraktur.
d.
Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau
sobek karena trauma yang berlebihan.
e.
Indium Imaging:
pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
f.
MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
2.7 Penatalaksanaan
Prinsip penanganan fraktur meliputi
rekognisi, traksi, reduksi imobilisasi
dan pengembalian fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi.
1. Rekognasi
Pergerakan
relatif sesudah cidera dapat mengganggu suplai neurovascular ekstremitas yang terlibat. Karena itu begitu
diketahui kemungkinan fraktur tulang panjang, maka ekstremitas yang cedera
harus dipasang bidai untuk melindunginya dari kerusakan yang lebih parah.
Kerusakan
jaringan lunak yang nyata dapat juga dipakai sebagai petunjuk kemungkinan
adanya fraktur, dan dibutuhkan pemasangan bidai segera dan pemeriksaan lebih
lanjut. Hal ini khususnya harus dilakukan pada cidera tulang belakang bagian
servikal, di mana contusio dan laserasio pada wajah dan kulit kepala
menunjukkan perlunya evaluasi radiografik,
yang dapat memperlihatkan fraktur tulang belakang bagian servikal dan/atau
dislokasi, serta kemungkinan diperlukannya pembedahan untuk menstabilkannya. (Smeltzer C dan B. G Bare, 2001)
2.
Traksi
Alat traksi diberikan dengan kekuatan tarikan pada
anggota yang fraktur untuk meluruskan bentuk tulang. Ada 2 macam yaitu:
a.
Skin Traksi
Skin traksi adalah menarik bagian tulang yang fraktur dengan menempelkan
plester langsung pada kulit untuk mempertahankan bentuk, membantu menimbulkan
spasme otot pada bagian yang cedera, dan biasanya digunakan untuk jangka pendek
(48-72 jam).
b.
Skeletal traksi
Adalah traksi yang digunakan untuk
meluruskan tulang yang cedera pada sendi panjang untuk mempertahankan bentuk dengan
memasukkan pins atau kawat ke dalam tulang.
3. Reduksi
Dalam penatalaksanaan fraktur dengan reduksi dapat dibagi menjadi 2 yaitu:
a.
Reduksi Tertutup/ORIF (Open Reduction Internal
Fixation)
Reduksi fraktur (setting tulang) berarti mengembalikan fragment tulang pada kesejajarannya dan
rotasi anatomis. Reduksi tertutup, traksi, dapat dilakukan untuk mereduksi
fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip
yang mendasarinya tetap sama.
Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus
disiapkan untuk menjalani prosedur dan harus diperoleh izin untuk melakukan
prosedur, dan analgetika diberikan sesuai ketentuan. Mungkin perlu dilakukan anesthesia. Ekstremitas yang akan
dimanipulasi harus ditangani dengan lembut untuk mencegah kerusakan lebih
lanjut. Reduksi tertutup pada banyak kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan
mengembalikan fragment tulang ke
posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi
manual.
b.
Reduksi Terbuka/OREF (Open Reduction Eksternal Fixation)
Pada Fraktur tertentu dapat
dilakukan dengan reduksi eksternal atau yang biasa dikenal dengan OREF,
biasanya dilakukan pada fraktur yang terjadi pada tulang panjang dan fraktur
fragmented. Eksternal dengan fiksasi, pin dimasukkan melalui kulit ke dalam tulang dan
dihubungkan dengan fiksasi yang ada dibagian luar. Indikasi yang biasa
dilakukan penatalaksanaan dengan eksternal fiksasi adalah fraktur terbuka pada
tulang kering yang memerlukan perawatan untuk dressings. Tetapi dapat
juga dilakukan pada fraktur tertutup radius ulna. Eksternal fiksasi yang paling
sering berhasil adalah pada tulang dangkal tulang misalnya tibial batang.
4. Imobilisasi
Fraktur
Setelah fraktur di reduksi, fragment tulang harus diimobilisasi,
atau dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna.
Metode fiksasi eksternal meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin
dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk
fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi
fraktur.
2.7 Perawatan Perioperatif
A.
Perawatan Pre Operasi:
1.
Persiapan Pre Operasi:
a.
Pasien sebaiknya tiba di ruang
operasi dengan daerah yang akan di operasi sudah dibersihkan (di cukur dan
personal hygiene)
b.
Kateterisasi
c.
Persiapan saluran pencernaan dengan puasa mulai tengah
malam sebelum operasi esok paginya (pada spinal anestesi dianjurkan untuk makan
terlebih dahulu)
d.
Informed Consent
e.
Pendidikan Kesehatan (Penkes)
mengenai tindakan yang dilakukan di meja operasi, seperti anestesi yang
digunakan, tindakan yang dilakukan dan lamanya operasi
2.
Perawatan intra Operasi:
a.
Menerima Pasien
b.
Memeriksa kembali persiapan pasien
c.
Identitas pasien
d.
Surat persetujuan operasi
e.
Pemeriksaan laboratorium darah,
rontgen, EKG.
f.
Mengganti baju pasien
g.
Menilai KU dan TTV
h.
Memberikan Pre Medikasi: Mengecek
nama pasien sebelum memberikan obat dan memberikan obat pre medikasi.
i.
Mendorong pasien kekamar tindakan
sesuai jenis kasus pembedahan
j.
Perawatan dilakukan sejak Memindahkan
pasien ke meja operasi samapai selesai
2.8 Proses Penyambungan Tulang
a) Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma di sekitar
dan di dalam fraktur (Apley,1995). Hal ini mengakibatkan gangguan suplay darah
pada tulang yang berdekatan dengan fraktur dan mematikannya (Maurice King,
2001).
b) Proliferasi
Dalam 8 jam setelah fraktur terdapat reaksi radang
akut disertai proliferasi sel di bawah periosteum dan di dalam saluran medulla
yang tertembus. Hematoma yang membeku perlahan-lahan diabsorbsi dan kapiler
baru yang halus berkembang ke dalam daerah itu (Apley, 1995).
c) Pembentukan
callus
Selama beberapa minggu berikutnya, periosteum dan
endosteum menghasilkan callus yang penuh dengan sel kumparan yang aktif. Dengan
pergerakan yang lembut dapat merangsang pembentukan callus pada fraktur
tersebut (Maurice King, 2001).
d) Konsolidasi
Selama stadium ini tulang mengalami penyembuhan
terus-menerus. Fragmen yang patah tetap dipertahankan oleh callus sedangkan
tulang mati pada ujung dari masing-masing fragmen dihilangkan secara perlahan,
dan ujungnya mendapat lebih banyak callus yang akhirnya menjadi tulang padat
(Maurice King, 2001). Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa
bulan sebelum tulang cukup kuat untuk membawa beban yang normal (Apley, 1995).
e) Remodeling
Tulang yang baru terbentuk, dibentuk
kembali sehingga mirip dengan struktur normal (Appley, 1995). Semakin sering pasien menggunakan anggota geraknya, semakin kuat tulang
baru tersebut (Maurice King, 2001).
Faktor yang Mempercepat Penyembuhan
Fraktur:
a. Imobilisasi fragment tulang
b. Kontak fragment
tulang maksimal
c. Asupan darah
yang memadai
d. Nutrisi yang
baik
e. Latihan
pembebanan berat badan untuk tulang panjang
f. Hormon-hormon
pertumbuhan, tiroid, kalsitonin, vitamin D, steroid anabolik.
Faktor yang Menghambat Penyembuhan Tulang:
a. Trauma lokal
ekstensif
b. Kehilangan
tulang
c. Imobilisasi
tak memadai
d. Rongga atau
jaringan di antara fragmen tulang
e. Infeksi
f. Keganasan
lokal
g. Penyakit
tulang metabolik (mis. penyakit Paget)
h. Radiasi
tulang (nekrosis radiasi)Nekrosis avaskuler
i.
Usia (lansia sembuh lebih lama). (Smeltzer dan Bare, 2001 : 2386)
2.9 Komplikasi
1. Dini
a.Compartement
syndrome
Merupakan
komlikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan
pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh odem atau perdarahan
yang menekan otot, saraf dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari
luar seperti gips, dan embebatan yang terlalu kuat
1.
Tekanan intracompartement
dapat diukir langsung dengan cara whitesides.
2.
Penanganan: dalam waktu kurang 12 jam harus dilakukan fascioterapi.
b. Infeksi
System pertahanan tubuh
rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi di mulai
pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus
fraktur terbuka, tapi juga bisa karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan
seperti pin dan plat
c. Avaskuler nekrosis
Avaskuler
Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ketulang rusak atau terganggu yang
bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia
d. Shock
Shock
terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler
yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
2. Lanjut
a. Malunion: biasanya terjadi pada fraktur yang
komminutiva sedang immobilisasinya longgar, sehingga terjadi angulasi dan
rotasi. Untuk memperbaiki perlu dilakukan osteotomi.
b. Delayed union: terutama terjadi pada fraktur
terbuka yang diikuti dengan infeksi atau pada frakter yang communitiva. Hal ini dapat diatasi dengan operasi bonegraft alih tulang spongiosa.
c. Non union: Disebabkan karena terjadi
kehilangan segmen tulang tibia disertai dengan infeksi. Hal ini dapat diatasi
dengan melakukan bone grafting
menurut cara papineau.
d. Kekakuan
sendi: Hal ini disebabkan karena pemakaian gips yang terlalu lama. Pada
persendian kaki dan jari-jari biasanya terjadi hambatan gerak, hal ini dapat
diatasi dengan fisiotherapi .
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPARAWATAN
3.1 Pengkajian
1.
Identitas Pasien
a.
Riwayat Penyakit Sekarang
Nyeri pada
daerah Fraktur, Kondisi fisik yang lemah, tidak bisa melakukan banyak aktivitas,
mual, muntah, dan nafsu makan menurun, (Brunner & suddarth, 2002)
b.
Riwayat Penyakit dahulu
Ada tidaknya
riwayat DM pada masa lalu yang akan mempengaruhi proses perawatan post operasi,
(Sjamsuhidayat & Wim Dejong)
c.
Riwayat Penyakit Keluarga
Fraktur
bukan merupakan suatu penyakit keturunan akan tetapi adanya riwayat keluarga
dengan DM perlu di perhatikan karena dapat mempengaruhi perawatan post operasi,
(Sjamsuhidayat & Wim Dejong)
2.
Pola Kebiasan
a.
Pola Nutrisi
Umumnya pola
nutrisi pasien tidak mengalami perubahan, namun ada beberapa kondisi dapat
menyebabkan pola nutrisi berubah, seperti nyeri yang hebat, dampak
hospitalisasi terutama bagi pasien yang merupakn pengalaman pertama masuk rumah
sakit, (Doenges, 2000).
b.
Pola Eliminasi
Pasien dapat
cenderung mengalami gangguan eliminasi BAB seperti konstipasi dan gangguan
eliminasi urine akibat adanya program eliminasi dilakukan ditempat tidur,
(Doenges, 2000)
c.
Pola Istirahat
Umumnya
kebutuhan istirahat atau tidur pasien tidak mengalami perubahan yang berarti,
namun ada beberapa kondisi dapat menyebabkan pola istirahat terganggu atau
berubah seperti timbulnya rasa nyeri yang hebat dan dampak hospitali, (Doenges,
2000)
d.
Pola Aktivitas
Umumnya
pasien tidak dapat melakukan aktivitas (rutinitas) sebagaimana biasanya, yang
hampir seluruh aktivitas dilakukan ditempat tidur. Hal ini dilakukan karena ada
perubahan fungsi anggota gerak serta program immobilisasi, untuk melakukan
aktivitasnya pasien harus dibantu oleh orang lain, namun untuk aktivitas yang
sifatnya ringan pasien masih dapat melakukannya sendiri, (Doenges, 2000)
e.
Personal Hygiene
Pasien masih
mampu melakukan personal hygienenya, namun harus ada bantuan dari orang lain,
aktivitas ini sering dilakukan pasien ditempat tidur. (Doenges, 2000)
f.
Riwayat Psikologis
Biasanya
dapat timbul rasa takut dan cemas terhadap fraktur, selain itu dapat juga
terjadi ganggguan konsep diri body image, jika terjadi atropi otot kulit pucat,
kering dan besisik. Dampak psikologis ini dapat muncul pada pasien yang masih
dalam perawatan dirumah sakit. Hal ini dapat terjadi karena adanya program
immobilisasi serta proses penyembuhan yang cukup lama, (Doenges, 2000)
g.
Riwayat Spiritual
Pada pasien
post operasi fraktur tibia riwayat spiritualnya tidak mengalami gangguan yang
berarti, pasien masih tetap bisa bertoleransi terhadap agama yang dianut, masih
bisa mengartikan makna dan tujuan serta harapan pasien terhadap penyakitnya,
(Doenges, 2000)
h.
Riwayat Sosial
Dampak
sosial adalah adanya ketergantungan pada orang lain dan sebaliknya pasien dapat
juga menarik diri dari lingkungannya karena merasa dirinya tidak berguna
(terutama kalau ada program amputasi), (Doenges, 2000)
i.
Pemeriksaan Fisik
j.
Pemeriksaan fisik biasanya dilakukan setelah riwayat
kesehatan dikumpulkan, pemeriksaan fisik yang lengkap biasanya dimulai secara
berurutan dari kepala sampai kejari kaki.
3.
Inspeksi
Pengamatan
terhadap lokasi pembengkakan, warna kulit pucat, Laserasi, kemerahan mungkin
timbul pada area terjadinya faktur adanya spasme otot dan keadaan kulit.
4.
Palpasi
Pemeriksaan
dengan cara perabaan, yaitu penolakan otot oleh sentuhan kita adalah nyeri
tekan, lepas dan sampai batas mana daerah yang sakit biasanya terdapat nyeri
tekan pada area fraktur dan di daerah luka insisi.
5.
Perkusi. Perkusi biasanya jarang dilakukan pada kasus
fraktur.
6.
Auskultasi
Pemeriksaan
dengan cara mendengarkan gerakan udara melalui struktur berongga atau cairan
yang mengakibatkan struktur solit bergerak. Pada pasien fraktur pemeriksaan ini
pada areal yang sakit jarang dilakukan, (Brunner & Suddarth, 2002)
3.2
Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan yang dapat ditemukan pada klien
pascaoperasi ortopedi adalah sebagai berikut.
1. Nyeri
berhubungan dengan prosedur pembedahan, pembengkakan, dan imobilisasi.
2. Risiko
perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan pembengkakan, alat yang
mengikat, gangguan peredaran darah.
3. Perubahan
pemeliharaan kesehatan berhubungan dengan kehilangan kemandirian.
4. Kerusakan
mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri, pembengkakan, prosedur pembedahan,
adanya alat imobilisasi (misal bidai, traksi, gips).
5. Resiko
tinggi infeksi berhubungan dengan adanya prosedur invasive.
Rencana Keperawatan
Rencana asuhan keperawatan pada klien postoperatif
ortopedi disusun seperti berikut ini meliputi diagnosis keperawatan, tindakan,
dan kriteria
Diagnosis
Keperawatan 1 : Nyeri berhubungan dengan prosedur pembedahan,
pembengkakan, dan imobilisasi.
Kriteria
Hasil :
1.
Klien melaporkan nyeri berkurang atau hilang
2.
Meninggikan ekstremitas untuk mengontrol pembengkakan
dan ketidaknyamanan.
3.
Bergerak dengan lebih nyaman
Intervensi :
a. Lakukan
pengkajian nyeri meliputi skala, intensitas, dan jenis nyeri.
Rasional : Untuk
mengetahui karakteristik nyeri agar dapat menentukan diagnosa selanjutnya.
b. Kaji adanya
edema, hematom, dan spasme otot.
Rasional : Adanya
edema, hematom dan spasme otot menunjukkan adanya penyebab nyeri
c. Tinggikan
ekstremitas yang sakit.
Rasional : Meningkatkan
aliran balik vena dan mengurangi edema dan mengurangi nyeri.
d. Berikan
kompres dingin (es).
Rasional : Menurunkan
edema dan pembentukan hematom
e. Ajarkan
klien teknik relaksasi, seperti distraksi, dan imajinasi terpimpin.
Rasional :
Menghilangkan atau mengurangi nyeri secara non farmakologis
Diagnosis
Keperawatan 2 : Risiko perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan
dengan pembengkakan, alat yang mengikat, gangguan peredaran darah.
Kriteria
hasil :
1.
Klien memperlihatkan perfusi jaringan yang adekuat:
2.
Warna kulit normal dan hangat.
3.
Respons pengisian kapiler normal (crt 3 detik).
Intervensi :
a. Kaji status
neurovaskular (misal warna kulit, suhu, pengisian kapiler, denyut nadi, nyeri,
edema, parestesi, gerakan).
Rasional : Untuk
menentukan intervensi selanjutnya
b. Tinggikan
ekstremitas yang sakit.
Rasional : Meningkatkan
aliran balik vena dan mengurangi edema dan mengurangi nyeri
c. Balutan yang
ketat harus dilonggarkan.
Rasional : Untuk
memperlancar peredaran darah.
d. Anjurkan
klien untuk melakukan pengeseran otot, latihan pergelangan kaki, dan
"pemompaan" betis setiap jam untuk memperbaiki peredaran darah.
Rasional : Latihan
ringan sesuai indikasi untuk mencegah kelemahan otot dan memperlancar peredaran
darah
Diagnosis
Keperawatan 3 : Perubahan pemeliharaan kesehatan berhubungan dengan
kehilangan kemandirian
Kriteria
hasil :
1.
Klien memperlihatkan upaya memperbaiki kesehatan.
2.
Mengubah posisi sendiri untuk menghilangkan tekanan
pada kulit.
3.
Menjaga hidrasi yang adekuat.
Intervensi :
1.
Bantu klien untuk merubah posisi setiap 2 jam.
Rasional : Untuk
mencegah tekanan pada kulit sehingga terhindar pada luka decubitus.
2.
Lakukan perawatan kulit, lakukan pemijatan dan
minimalkan tekanan pada penonjolan tulang.
Rasional : Untuk
menjaga kulit tetap elastic dan hidrasi yang baik.
3.
Kolaborasi kepada tim gizi; pemberian menu seimbang
dan pembatasan susu.
Rasional : Untuk
membantu mempercepat proses penyembuhan.
Diagnosis
Keperawatan 4 : Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri,
pembengkakan, prosedur pembedahan, adanya alat imobilisasi (misal bidai,
traksi, gips)
Kriteria
hasil :
1.
Klien memaksimalkan mobilitas dalam batas terapeutik.
2.
Menggunakan alat imobilisasi sesuai petunjuk.
3.
Mematuhi pembatasan pembebanan sesuai anjuran
Intervensi :
1. Bantu klien
menggerakkan bagian cedera dengan tetap memberikan sokongan yang adekuat.
Rasional : Agar
dapat membantu mobilitas secara bertahap
2. Ekstremitas
ditinggikan dan disokong dengan bantal.
Rasional : Meningkatkan
aliran balik vena dan mengurangi edema dan mengurangi nyeri
3. Nyeri
dikontrol dengan bidai dan memberikan obat anti-nyeri sebelum digerakkan.
Rasional : Mengurangi
nyeri sebelum latihan mobilitas
4. Ajarkan
klien menggunakan alat bantu gerak (tongkat, walker, kursi roda), dan anjurkan
klien untuk latihan.
5. Rasional : Alat
bantu gerak membantu keseimbangan diri untuk latihan mobilisasi
Diagnosa
keperawatan 5 : Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur
invasif.
Kriteria
hasil : Tidak terjadi Infeksi
Intervensi :
1. Kaji respon
pasien terhadap pemberian antibiotik
Rasional : Untuk
menentukan antibiotic yang tepat untuk pasien
2. Pantau
tanda-tanda vital
Rasional : Peningkatan
suhu tubuh di atas normal menunjukkan adanya tanda-tanda infeksi
3. Pantau luka
operasi dan cairan yang keluar dari luka
Rasional : Adanya
cairan yang keluar dari luka menunjukkan adanya tanda infeksi dari luka.
4. Pantau
adanya infeksi pada saluran kemih
Rasional : Retensi
urine sering terjadi setelah pembedahan
3.2 Evaluasi
1. Nyeri
berkurang sampai dengan hilang
2. Tidak
terjadi perubahan perfusi jaringan perifer
3. Pemeliharaan
kesehatan terjaga dengan baik
4. Dapat
melakukan mobilitas fisik secara mandiri.
5. Tidak
terjadi perubahan konsep diri; citra diri, harga diri dan peran diri
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Anderson, Sylvia Price. 2001. Pathofisiologi
Konsep Klinisk Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC.
2.
Doengoes, Marylinn. E.
2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC.
3.
Mansjoer, Arif. dkk.
2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius. FKUI.
4.
Muttaqin, Arif. 2005. Ringkasan
Buku Ajar: Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskuloskletal. Edisi
1.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar