BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kelenjar prostat merupakan organ tubuh pria yang paling sering mengalami
pembesaran, baik jinak maupun ganas. Dengan bertambahnya usia, kelenjar prostat
juga mengalami pertumbuhan, sehingga menjadi lebih besar. Pada tahap usia
tertentu banyak pria mengalami pembesaran prostat yang disertai gangguan buang
air kecil. Gejala ini merupakan tanda awal Benign Prostatic Hyperplasia (BPH).
Pembesaran kelenjar prostat mempunyai angka morbiditas yang bermakna pada
populasi pria lanjut usia. Hiperplasia prostat sering terjadi pada pria diatas
usia 50 tahun (50-79 tahun) dan menyebabkan penurunan kualitas hidup seseorang.
Sebenarnya perubahan-perubahan kearah terjadinya pembesaran prostat sudah
dimulai sejak dini, dimulai pada perubahan-perubahan mikroskopik yang kemudian
bermanifestasi menjadi kelainan makroskopik (kelenjar membesar) dan kemudian
bermanifes dengan gejala klinik.
Dengan adanya hiperplasia ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi saluran
kemih dan untuk mengatasi obstruksi ini dapat dilakukan berbagai cara mulai
dari tindakan yang paling ringan yaitu secara konservatif (non operatif) sampai
tindakan yang paling berat yaitu operasi.
BAB
II
KONSEP
DASAR
2.1
Pengertian
Benigna Prostat Hiperplasia adalah kelenjar prostat
mengalami, memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin
dengan menutupi orifisium uretra (Brunner & suddarth, 2001). Benigna
Prostat Hiperplasi adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan (Price, 2006)
Benigna Prostat Hiperplasi adalah hiperplasia
kelenjer periuretra yang mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan
menjadi simpai bedah (Mansjoer, 2000).
Benigna Prostat Hiperplasi adalah kelenjar prostat
bila mengalami pembesaran, organ ini dapat menyumbat uretra pars prostatika dan
menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli (Purnomo 2011).
Dari pengertian di atas maka penulis menyimpulkan
bahwa benigna prostat hyperplasia adalah pembesaran dari prostat yang biasanya
terjadi pada orang berusia lebih dari 50 tahun yang mendesak saluran
perkemihan.
2.2
Anatomi dan Fisiologi
2.2.1 Anatomi
Kelenjar
prostate adalah suatu kelenjar fibro muscular yang melingkar Bledder neck dan
bagian proksimal uretra. Berat kelenjar prostat pada orang dewasa kira-kira 20
gram dengan ukuran rata-rata : panjang 3,4 cm, lebar 4,4 cm, tebal 2,6 cm.
Secara embriologis terdiri dari 5 lobus yaitu lobus medius 1 buah, lobus
anterior 1 buah, lobus posterior 1 buah, lobus lateral 2 buah. Selama
perkembangannya lobus medius, lobus anterior dan lobus posterior akan menjadi
satu disebut lobus medius. Pada penampang lobus medius kadang-kadang tidak tampak
karena terlalu kecil dan lobus ini tampak homogen berwarna abu-abu, dengan
kista kecil berisi cairan seperti susu, kista ini disebut kelenjar prostat. Pada
potongan melintang uretra pada posterior kelenjar prostat terdiri dari:
a. Kapsul
anatomis.
Jaringan stroma yang terdiri dari
jaringan fibrosa dan jaringan muskuler. Jaringan kelenjar yang terbagi atas 3
kelompok bagian :
1. Bagian
luar disebut kelenjar sebenarnya.
2. Bagian
tengah disebut kelenjar sub mukosal, lapisan ini disebut juga sebagai
adenomatus zone.
3. Di
sekitar uretra disebut periuretral gland. Saluran keluar dari ketiga kelenjar
tersebut bersama dengan saluran dari vesika seminalis bersatu membentuk duktus
ejakulatoris komunis yang bermuara ke dalam uretra. Menurut Mc Neal, prostat
dibagi atas : zona perifer, zona sentral, zona transisional, segmen anterior dan
zona spingter preprostat. Prostat normal terdiri dari 50 lobulus kelenjar.
Duktus kelenjar-kelenjar prostat ini lebih kurang 20 buah, secara terpisah
bermuara pada uretra prostatika, dibagian lateral verumontanum,
kelenjar-kelenjar ini dilapisi oleh selaput epitel torak dan bagian basal
terdapat sel-sel kuboid (Anderson, 1999).
2.2.2
Fisiologi
Pada
laki-laki remaja prostat belum teraba pada colok dubur, sedangkan pada orang
dewasa sedikit teraba dan pada orang tua biasanya mudah teraba. Sedangkan pada
penampang tonjolan pada proses hiperplasi prostat, jaringan prostat masih baik.
Pertambahan unsur kelenjar menghasilkan warna kuning kemerahan, konsisitensi lunak
dan berbatas jelas dengan jaringan prostat yang terdesak berwarna putih ke
abu-abuan dan padat. Apabila tonjolan itu ditekan, keluar cairan seperti susu.
Apabila jaringan fibromuskuler yang bertambah tonjolan berwarna abu-abu padat
dan tidak mengeluarkan cairan sehingga batas tidak jelas. Tonjolan ini dapat
menekan uretra dari lateral sehingga lumen uretra menyerupai celah. Terkadang
juga penonjolan ini dapat menutupi lumen uretra, tetapi fibrosis jaringan kelenjar
yang berangsur-angsur mendesak prostat dan kontraksi dari vesika yang dapat
mengakibatkan peradangan (Brunner & Suddarth, 2002).
2.3 Etiologi atau Predisposisi
Menurut Alam tahun 2004 penyebab pembesaran kelenjar
prostat belum diketahui secara pasti, tetapi hingga saat ini dianggap
berhubungan dengan proses penuaan yang mengakibatkan penurunan kadar hormon pria,
terutama testosteron. Para ahli berpendapat bahwa dihidrotestosteron yang
mamacu pertumbuhan prostat seperti yang terjadi pada masa pubertas adalah
penyebab terjadinya pembesaran kelenjar prostat. Hal lain yang dikaitkan dengan
gangguan ini adalah stres kronis, pola makan tinggi lemak, tidak aktif olahraga
dan seksual. Selain itu testis menghasilkan beberapa hormon seks pria, yang secara
keseluruhan dinamakan androgen. Hormon tersebut mencakup testosteron,
dihidrotestosteron, dan androstenesdion. Testosteron sebagian besar dikonversikan
oleh enzim 5-alfa- reduktase menjadi dihidrotestosteron yang lebih aktif secara
fisiologis di jaringan sasaran sebagai pengatur fungsi ereksi. Tugas lain dari
testosteron adalah pemicu libido, pertumbuhan otot dan mengatur doposit kalsium
di tulang. Penurunan kadar testosteron telah diketahui sebagai penyebab dari penurunan
libida, massa otot, melemahnya otot pada organ seksual dan kesulitan ereksi.
Selain itu kadar testosteron yang rendah juga dapat menyebabkan masalah lain
yang tidak segera terlihat, yaitu pembesaran kelenjar prostat. Dalam keadaan
stres, tubuh memproduksi lebih banyak steroid stres (karsitol) yang dapat
menggeser produksi DHEA (dehidroepianandrosteron). DHEA berfungsi
mempertahankan kadar hormon seks yang normal, termasuk testosteron. Stres
kronis menyebabkan penuaan dini dan penurunan fungsi testis pria. Kolesterol tinggi
juga dapat mengganggu keseimbangan hormonal dan menyebabkan terjadinya
pembesaran prostat.
Faktor lain adalah nikotin dan konitin ( produk
pemecahan nikotin) yang meningkatkan aktifitas enzim perusak androgen, sehingga
menyebabkan penurunan kadar testosteron. Begitu pula toksin lingkungan (zat
kimia yang banyak digunakan sebagai pestisida, deterjen atau limbah pabrik)
dapat merusak fungsi reproduksi pria.
2.4 Patofisiologi
Menurut Purnomo 2011 pembesaran prostat menyebabkan penyempitan
lumen uretra prostatika dan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan
peningkatan tekanan intravesikal. Untuk mengeluarkan urine, buli-buli harus
berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus
ini menyebabkan perubahan anatomik buli-buli berupa hipertrofi otot
detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel
buli-buli. Perubahan struktur pada bulu-buli tersebut, oleh pasien disarankan
sebagai keluhkan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract
symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala prostatismus. Tekanan
intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian bulibuli tidak terkecuali
pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan
aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesiko
ureter. Keadaan keadaan ini jIka berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter,
hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal. Obstruksi
yang diakibatkan oleh hiperplasia prostat benigna tidak hanya disebabkan oleh
adanya massa prostat yang menyumbat uretra posterior, tetapi juga disebabkan
oleh tonus otot polos yang pada stroma prostat, kapsul prostat, dan otot polos
pada leher buli-buli. Otot polos itu dipersarafi oleh serabut simpatis yang
berasal dari nervus pudendus. Menurut Mansjoer tahun 2000 pembesaran prostat
terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga
terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran
prostat, resistensi pada leher buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta
otot detrusor menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel.
Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut,
maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu
lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensio urin yang selanjutnya dapat
menyebabkan hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas.
2.5 Manifestasi Klinis
1.
Keluhan pada saluran kemih bagian bawah :
a.
Obstruksi :
1. Hesistensi
(harus menggunakan waktu lama bila mau miksi)
2. Pancaran
waktu miksi lemah
3. Intermitten
(miksi terputus)
4. Miksi
tidak puas
5. Distensi
abdomen
6. Volume
urine menurun dan harus mengejan saat berkemih.
b.
Iritasi : frekuensi sering, nokturia, disuria.
1. Gejala
pada saluran kemih bagian atas
2. Nyeri
pinggang, demam (infeksi), hidronefrosis.
3. Gejala
di luar saluran kemih :
Keluhan
pada penyakit hernia/hemoroid sering mengikuti penyakit hipertropi prostat.
Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi sehingga
mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal (Sjamsuhidayat, 2004).
Adapun
gejala dan tanda yang tampak pada pasien dengan Benigna Prostat Hipertroplasi:
a) Sering
buang air kecil dan tidak sanggup menahan buang iar kecil, sulit mengeluarkan
atau menghentikan urin. Mungkin juga urin yang keluar hanya merupakan tetesan
belaka.
b) Sering
terbangun waktu tidur di malam hari, karena keinginan buang air kecil yang
berulang-ulang.
c) Pancaran
atau lajunya urin lemah
d) Kandung
kemih terasa penuh dan ingin buang iar kecil lagi
e) Pada
beberapa kasus, timbul rasa nyeri berat pada perut akibat tertahannya urin atau
menahan buang air kecil (Alam, 2004). Gejala generalisata juga mungkin tampak,
termasuk keletihan, anoreksia, mual dan muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik
(Brunner & Suddarth, 2002).
Secara
klinik derajat berat, dibagi menjadi 4 gradiasi, yaitu:
1. Derajat
1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada DRE (digital rectal
examination) ditemukan penonjolan prostat dan sisa urine kurang dari 50 ml.
2. Derajat
2 : Ditemukan tanda dan gejala seperti pada derajat 1, prostat lebih menonjol,
batas atas masih teraba dan sisa urine lebih dari 50 ml tetapi kurang dari 100
ml.
3. Derajat
3 : Seperti derajat 2, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa urin
lebih dari 100 ml.
4. Derajat
4 : Apabila sudah terjadi retensi total.
2.6 Komplikasi
Kebanyakan prostatektomi tidak menyebabkan impotensi
(meskipun prostatektomi perineal dapat menyebabkan impotensi akibat kerusakan
saraf pudendal yang tidak dapat dihindari). Pada kebanyakan kasus, aktivitas
seksual dapat dilakukan kembali dalam 6 sampai 8 Minggu, karena saat ini fossa
prostatik telah sembuh. Setelah ejakulasi, maka cairan seminal mengalir ke
dalam kandung kemih dan diekskresikan bersama urin (Brunner & Suddarth,
2002).
Apabila buli-buli menjadi dekompensasi, akan terjadi
retensio urin. Karena produksi urin terus berlanjut maka pada suatu saat
buli-buli tidak mampu lagi menampung urin sehinnga tekanan intravesika
meningkat, dapat timbul hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal (Mansjoer,
2000).
2.7 Penatalaksanaan
1. Modalitas
terapi BPH adalah :
a) Observasi
yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3-6 bulan kemudian setiap tahun
tergantung keadaan klien.
b) Medikamentosa
: terapi ini diindikasikan pada BPH dengan Keluhan ringan, sedang, sedang dan
berat tanpa disertai penyulit. Obat yang digunakan berasal dari phitoterapi
(misalnya : Hipoxis rosperi, serenoa repens, dll), gelombang alfa blocker dan
golongan supresor androgen.
2. Indikasi
pembedahan pada BPH adalah :
a. Klien
yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut (100 ml).
b. Klien
dengan residual urin yaitu urine masih tersisa di kandung kemih setelah klien
buang air kecil > 100 Ml.
c. Klien
dengan penyulit yaitu klien dengan gangguan sistem perkemihan seperti retensi
urine atau oliguria.
d. Terapi
medikamentosa tidak berhasil.
e. Flowcytometri
menunjukkan pola obstruktif.
Pembedahan
dapat dilakukan dengan :
1. TURP
(Trans Uretral Reseksi Prostat).
a. Jaringan
abnormal diangkat melalui rektroskop yang dimasukan melalui uretra.
b. Tidak
dibutuhkan balutan setelah operasi.
c. Dibutuhkan
kateter foley setelah operasi.
2. Prostatektomi
Suprapubis
a. Penyayatan
perut bagian bawah dibuat melalui leher kandung kemih.
b. Diperlukan
perban luka, drainase, kateter foley, dan kateter suprapubis setelah operasi.
3. Prostatektomi
Neuropubis
a. Penyayatan
dibuat pada perut bagian bawah.
b. Tidak
ada penyayatan pada kandung kemih.
c. Diperlukan
balutan luka, kateter foley, dan drainase.
4. Prostatektomi
Perineal
a. Penyayatan
dilakukan diantara skrotum dan anus.
b. Digunakan
jika diperlukan prostatektomi radikal.
c. Vasektomi
biasanya dikakukan sebagai pencegahan epididimistis.
d. Persiapan
buang hajat diperlukan sebelum operasi (pembersihan perut, enema, diet rendah
sisa dan antibiotik).
e. Setelah
operasi balutan perineal dan pengeringan luka (drainase) diletakan pada
tempatnya kemudian dibutuhkan rendam duduk.
Pada
TURP, prostatektomi suprapubis dan retropubis, efek sampingnya dapat meliputi:
a) Inkotenensi
urinarius temporer
b) Pengosongan
urine yang keruh setelah hubungan intim dan kemandulan sementara (jumlah sperma
sedikit) disebabkan oleh ejakulasi dini kedalam kandung kemih.
2.8 Pengkajian
Dari data yang telah
dikumpulkan pada pasien dengan BPH : Post Prostatektomi dapat penulis
kelompokkan menjadi:
A. Data
subyektif :
1. Pasien
mengeluh sakit pada luka insisi, karakteristik luka, luka berwarna merah.
2. Pasien
mengatakan tidak bisa melakukan hubungan seksual.
3. Pasien
selalu menanyakan tindakan yang dilakukan.
4. Pasien
mengatakan buang air kecil tidak terasa.
B. Data
Obyektif:
1. Terdapat
luka insisi, karakteristik luka berwarna merah.
2. Takikardia,
normalnya 80-100 kali/menit.
3. Gelisah.
4. Tekanan
darah meningkat, normalnya 120/80 mmHg.
5. Ekspresi
wajah ketakutan.
6. Terpasang
kateter.
C. Pemeriksaan
Penunjang
1. Pemeriksaan
laboratorium
Analisis
urine dan pemeriksaan mikroskopis urin penting untuk melihat adanya sel
leukosit, bakteri, dan infeksi. Bila terdapat hematuria, harus diperhitungkan
etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi saluran
kemih, walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan hematuria. Elektrolit, kadar
ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dan fungsi ginjal dan status
metabolik. Pemeriksaan Prostat Specific Antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar
penentuan perlunya biopsy atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai SPA
< 4mg/ml tidak perlu biopsy. Sedangkan bila nilai SPA 4–10 mg/ml, hitunglah
Prostat Spesific Antigen Density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan volume
prostat. Bila PSAD > 0,15 maka sebaiknya dilakukan biopsi prostat, demikian
pula bila nilai PSA > 10 mg/ml.
2. Pemeriksaan
Radiologis
Pemeriksaan
yang biasa dilakukan adalah foto polos abdomen, pielografi intravena, USG dan
sitoskopi. Dengan tujuan untuk memperkirakan volume BPH, menentukan derajat
disfungsi buli-buli dan volume residu urine, mencari kelainan patologi lain,
baik yang berhubungan maupun yang tidak berhubungan dengan BPH. Dari semua
jenis pemeriksaan dapat dilihat:
a. Dari
foto polos dapat dilihat adanya batu pada batu traktus urinarius, pembesaran
ginjal atau buli – buli.
b. Dari
pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal,
hidronefrosis dan hidroureter, fish hook appearance (gambaran ureter
belok–belok di vesika)
c. Dari
USG dapat diperkirakan besarnya prostat, memeriksa masa ginjal, mendeteksi
residu urine, batu ginjal, divertikulum atau tumor buli – buli (Mansjoer,
2000).
D. Pemeriksaan
Diagnostik.
1. Urinalisis
: warna kuning, coklat gelap, merah gelap/terang, penampilan keruh, Ph : 7 atau
lebih besar, bacteria
2. Kultur
Urine : adanya staphylokokus aureus, proteus, klebsiella, pseudomonas, e. coli.
3. BUN
/ kreatinin : meningkat.
4. IVP
: menunjukan perlambatan pengosongan kandung kemih dan adanya pembesaran
prostat, penebalan otot abnormal kandung kemih.
5. Sistogram
: suatu gambaran rontgen dari kandung kemih yang diperoleh melalui urografi
intravena.
6. Sistouretrografi
berkemih : sebagai ganti IVP untuk menvisualisasi kandung kemih dan uretra
dengan menggunakan bahan kontras lokal.
7. Sistouretroscopy
: untuk menggambarkan derajat pembesaran prostat dan kandung kemih.
8. Transrectal
ultrasonografi : mengetahui pembesaran prosat, mengukur sisa urine dan keadaan
patologi seperti tumor atau batu (Sjamsuhidayat, 2004)
2.9 Diagnosa Keperawatan Intervensi Dan Rasional
1. Gangguan
rasa nyaman nyeri suprapubik berhubungan dengan spasme otot spincter.
a. Tujuan
: Nyeri berkurang atau hilang
b. Kriteria
hasil: Secara verbal pasien mengungkapkan nyeri berkurang atau hilang, Pasien
dapat beristirahat dengan tenang.
c. Intervensi:
1. Monitor
dan catat adanya rasa nyeri, lokasi, durasi dan faktor pencetus serta
penghilang nyeri.
Rasional
: Memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan atau keefektifan
intervensi.
2. Observasi
tanda-tanda non verbal nyeri (gelisah, kening mengkerut, peningkatan tekanan
darah dan denyut nadi).
Rasional
: memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan keefektifan dalam
menentukan pilihan atau keefektifan intervensi.
3. Beri
kompres hangat pada abdomen terutama perut bagian bawah. Rasional : Untuk
meningkatkan relaksasi otot.
4. Anjurkan
pasien untuk menghindari stimulan (kopi, teh, merokok, abdomen tegang).
Rasional
: Untuk menurunkan spasme kandung kemih.
5. Atur
posisi pasien senyaman mungkin, ajarkan teknik relaksasif.
Rasional
: Meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian dan dapat meningkatkan
kemampuan koping.
6. Lakukan
perawatan aseptik terapeutik.
Rasional
: untuk mengurangi resiko infeksi.
7. Laporkan
pada dokter jika nyeri meningkat.
Rasional
: Pembesaran prostat dapat terjadi dengan hilangnya sebagian kelenjar.
2. Perubahan
pola eliminasi urine: retensi urin berhubungan dengan obstruksi sekunder.
a. Tujuan
: Tidak terjadinya retensi urine
b. Kriteria
hasil :
1. Pasien
dapat buang air kecil teratur bebas dari distensi kandung kemih.
2. Menunjukan
residu pasca berkemih kurang dari 50 ml, dengan tak adanya tetesan/kelebihan.
c. Intervensi
:
1. Lakukan
irigasi kateter secara berkala atau terus- menerus dengan teknik steril.
Rasional
: Menghindari terjadinya gumpalan yang dapat menyumbat kateter, menyebabkan
peregangan dan perdarahan kandung kemih
2. Atur
posisi selang kateter dan urin bag sesuai gravitasi dalam keadaan tertutup.
Rasional
: Untuk mencegah peningkatan tekanan pada Kandung kemih.
3. Observasi
adanya tanda-tanda shock/hemoragi (hematuria, dingin, kulit lembab, takikardi,
dispnea).
Rasional
: Untuk mencegah komplikasi berlanjut.
4. Mempertahankan
kesterilan sistem drainage cuci tangan sebelum dan sesudah menggunakan alat dan
observasi aliran urin serta adanya bekuan darah atau jaringan.
Rasional
: Pemberi perawatan menjadi penyebab terbesar infeksi nosokomial. Kewaspadaan
umum melindungi pemberi perawatan dan pasien.
5. Monitor
urine setiap jam (hari pertama operasi) dan setiap 2 jam (mulai hari kedua post
operasi).
Rasional
: Cairan membantu mendistribusikan obat-obatan ke seluruh tubuh. Risiko
terjadinya ISK dikurangi bila aliran urine encer konstan dipertahankan melalui ginjal.
6. Ukur
intake output cairan.
Rasional
: Menjamin keamanan untuk membantu penyembuhan pascaoperasi.
7. Beri
tindakan asupan/pemasukan oral 2000-3000 ml/hari, jika tidak ada kontra
indikasi.
Rasional
: Cairan membantu mendistribusikan obat-obatan ke seluruh tubuh. Risiko
terjadinya ISK dikurangi bila aliran urine encer konstan dipertahankan melalui ginjal.
8. Berikan
latihan perineal (kegel training) 15-20x/jam selama 2-3m minggu, anjurkan dan
motivasi pasien untuk melakukannya. Rasional : Mengajarkan pasien bagaimana
melakukannya sendiri.
3
Resiko tinggi disfungsi seksual
berhubungan dengan sumbatan saluran ejakulasi, hilangnya fungsi tubuh.
a. Tujuan
: Tidak terjadinya disfungsi seksual
b. Kriteria
hasil : Pasien menyadari keadaannya dan akan mulai lagi intaraksi seksual dan
aktivitas secara optimal.
c. Intervensi
:
1. Motivasi
pasien untuk mengungkapkan perasaannya yang berhubungan dengan perubahannya.
Rasional
: Memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan atau keefektifan
intervensi.
2. Jawablah
setiap pertanyaan pasien dengan tepat.
Rasional
: Untuk menginformasikan kondisi klien.
3. Beri
kesempatan pada pasien untuk mendiskusikan perasaannya tentang efek
prostatektomi dalam fungsi seksual.
Rasional
: Memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan atau keefektifan
intervensi.
4. Libatkan
kelurga/istri dalam perawatan pmecahan masalah fungsi seksual.
Rasional
: Memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan atau keefektifan
intervensi.
5. Beri
penjelasan penting tentang:
a. Impoten
terjadi pada prosedur radikal
b. Adanya
kemungkinan fungsi seksual kembali normal
c. Adanya
kemunduran ejakulasi.
Rasional : Memberikan
informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan atau keefektifan intervensi.
6. Anjurkan
pasien untuk menghindari hubungan seksual selama 1 bulan (3-4 minggu) setelah
operasi.
Rasional
: Menjamin keamanan untuk membantu penyembuhan pascaoperasi.
4
Resiko terjadinya infeksi berhubungan
dengan port de entrée mikroorganisme melalui kateterisasi, dan jaringan
terbuka.
a. Tujuan
: Tidak terjadinya infeksi
b. Kriteria
hasil: Tanda-tanda vital dalam batas normal, Tidak ada bengkak, aritema, nyeri,
Luka insisi semakin sembuh dengan baik
c. Intervensi
:
1. Lakukan
irigasi kandung kemih dengan larutan steril.
Rasional
: Gumpalan dapat menyumbat kateter, menyebabkan peregangan dan perdarahan
kandung kemih.
2. Observasi
insisi (adanya indurasi drainage dan kateter), (adanya sumbatan, kebocoran).
Rasional
: Sumbatan pada selang kateter oleh bekuan dapat menyebabkan distensi kandung
kemih, dengan peningkatan spasme.
3. Lakukan
perawatan luka insisi secara aseptik, jaga kulit sekitar kateter dan drainage.
Rasional
: Untuk mengurangi resiko infeksi
4. Monitor
balutan luka, gunakan pengikat bentuk T perineal untuk menjamin dressing.
Rasional
: Untuk mengurangi resiko infeksi.
5. Monitor
tanda-tanda sepsis (nadi lemah, hipotensi, nafas meningkat, dingin).
Rasional
: Deteksi awal terhadap komplikasi dengan intervensi yang tepat dapat mencegah
kerusakan jaringan yang permanen.
5
Kurang pengetahuan berhubungan dengan
kurang informasi tentang penyakit, perawatannya.
a. Tujuan
: Pengetahuan pasien dapat meningkat
b. Kriteria
hasil : Secara verbal pasien mengerti dan mampu mengungkapkan dan mendemonstrasikan
perawatan.
c. Intervensi
:
1. Motivasi
pasien/keluarga untuk mengungkapkan pernyataannya tentang penyakit.
Rasional
: Memberikan informasi sejauh mana pengetahuan klien tentang penyakit yang
dialami.
2. Berikan
pendidikan pada pasien/keluarga tentang:
a. Perawatan
lsuka, pemberian nutrisi, cairan irigasi, kateter.
b. Perawatan
di rumah, adanya tanda-tanda hemoragi.
Rasional : Memberikan
informasi kepada klien/keluarga klien cara perawatan pasca operasi.
6. Anxietas
berhubungan dengan kurangnya pengetahuan, salah interpretasi informasi, tidak
mengenal sumber informasi, ditandai dengan : Gelisah, Informasi kurang
a. Tujuan
: Tidak terjadinya ansietas.
b. kriteria
hasil : Klien tidak gelisah, Tampak rileks
c. Intervensi
:
1. Kaji
tingkat anxietas.
Rasional
: Mengetahui tingkat anxietas yang dialami klien, sehingga memudahkan dalam
memberikan tindakan selanjutnya.
2. Observasi
tanda-tanda vital.
Rasional
: Indikator dalam mengetahui peningkatan anxietas yang dialami klien.
3. Berikan
informasi yang jelas tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan.
Rasional
: Mengerti/memahami proses penyakit dan tindakan yang diberikan.
BAB III
KESIMPULAN
Hiperplasia kelenjar prostat mempunyai angka morbiditas yang bermakna pada
populasi pria lanjut usia. Dengan bertambah usia, ukuran kelenjar dapat
bertambah karena terjadi hiperplasia jaringan fibromuskuler dan struktur epitel
kelenjar (jaringan dalam kelenjar prostat). Gejala dari pembesaran prostat
ini terdiri dari gejala obstruksi dan gejala iritatif.
Penatalaksanaan BPH berupa watchful
waiting, medikamentosa, terapi bedah konvensional, dan terapi minimal
invasif.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Carpenito, Lynda Juall. (1999). Nursing
Care Plans and Dokumentation : Nursing Diagnosis and Collaboration Problems.
(Monica Ester, Penerjemah). Eight Edition.Philadelphia :
Lippincott-Raven Publisher. (sumber asli diterbitkan 1995)
2.
Doonges, Marilynn E. (1999). Nursing
Care Plans ( I Made K, penerjemah ) Third Edition.Jakarta
: EGC. (sumber asli diterbitkan 1993)
3.
Lyer, Patricia W. (2004). Nursing
Documentation : A Nursing Approach (Sari K, Penerjemah) Third
Edition. Flemington : Mosby inc. (sumber asli diterbitkan 1999)
4.
Potter, Patricia A. (2005). Fundamentals
of Nursing : Concept, Processand Practise(Yasmin Asih, Penerjemah) Volume
I Fourth Edition. Saint Louis : Mosby Year Book inc. (sumber asli
diterbitkan 1997)
5.
Purnomo,
Basuki B. Hiperplasia prostat dalam: Dasar – dasar urologi., Edisi
ke – 2. Jakarta
thanks kakak.
BalasHapus